Berita gembira datang dari ujung selatan pulau Sumatera, hmm.. kalo ada yang mengira itu Sumatera Selatan, perkiraan itu salah besar karena ujung selatan Sumatera ini adalah Lampung, yang biasa dikenal akan sekolah gajah Way Kambas-nya itu. Menarik memang, tapi sayangnya untuk pelancong rancang bangun, sepertinya ada yang lebih menarik lagi. Pernah mendengar Kampung Wana? tentunya belum ya.. penulis blog ini pun yang telah lebih dari 15 tahun hidup di tanah Lampung bahkan belum pernah mendengar kampung yang berada di Lampung Timur itu. Beruntung sekali IAI Propinsi Lampung yang dikepalai oleh Alm. Bpk Riau ini memberikan undangan ke seluruh mahasiswa penjuru Negeri ini untuk datang ke Provinsi Lampung dan mengenal “Kampung Wana”.
Ternyata antusiasme mahasiswa dari pulau Jawa cukup baik, karena perwakilan dari Yogyakarta-pun ikut hadir dalam undangan ini. Dan 6 gelintintir mahasiswa Bandung pun siap menyeberangi lautan menuju Sumatera. Karena perjalanan cukup jauh, maka kami beristirahat semalam di kota pantai “Kalianda” sambil menikmati ikan bakar.. hmm.
Pagi hari nan cukup sejuk ditemani hangatnya nasi uduk pantai ini menjadi saksi perpisahan dengan kota kecil Kalianda ini.. and... “Kampung Wana, here we come..!!”. Sudah hampir 5 jam di dalam mobil rusa nan abu-abu kebiru-biruan, akhirnya tiba juga di kampung yang bisa dibilang masih terasa kampungnya.. karena tidak ada bangunan beton atau baja yang kami saksikan terbangun di deretan kampung pinggir jalan ini. Kampung pinggir jalan? ya, sejalan dengan perkembangan jalur transportasi darat, sebuah jalan aspal penghubung Lampung-Palembang membelah kampung ini..
Sebelum berkeliling kami berkumpul sejenak untuk sekedar menyaksikan kuliah kecil yang disajikan oleh arsitek besar.. Hmm, siapa yang tidak kenal dengan Yori Antar, salah satu petinggi di “Han Awal & Partners Architect". Ranah lingkup yang dibahas bang Yori adalah Fotografi Arsitektur, memang hobinya si abang dari Jakarta ini adalah menjepret-jepret elemen arsitektural dan Beliau tidak tanggung-tanggung berbagi tips & trik kpada mahasiswa2 ini. Cukup ilmu kami kantongi dan sebuah istilah “man behind the gun” yang diucapkan bang Yori terus menjadi senjata saya dalam berkarya.
Kami pun berkeliling kampung.. dan tetap tidak lupa si mesin jepret siap dalam genggaman. Bangunan rumah panggung yang berjejer di sepanjang jalan tak hentinya menyita perhatian, entah mengapa begitu awetnya eksistensi bentuk-bentuk banguan rumah adat ini ditengah perkembangan jenis material bangunan saat ini. Sekalipun selimut-selimut kecil pada beberapa bangunan memang sudah merupakan bahan genteng (yang semula merupakan ijuk) dan bahan beton, seperti tangga, ataupun pagar.. Tapi bentuk dominan bangunan ini tetap menonjol. Sekalipun ada bangunan yang berusia muda, bentuk bangunan tetap kembali pada bangunan lama. Identitas sosial warga sepertinya ditunjukan dengan permainan warna pada rumah mereka.
Pagi hari nan cukup sejuk ditemani hangatnya nasi uduk pantai ini menjadi saksi perpisahan dengan kota kecil Kalianda ini.. and... “Kampung Wana, here we come..!!”. Sudah hampir 5 jam di dalam mobil rusa nan abu-abu kebiru-biruan, akhirnya tiba juga di kampung yang bisa dibilang masih terasa kampungnya.. karena tidak ada bangunan beton atau baja yang kami saksikan terbangun di deretan kampung pinggir jalan ini. Kampung pinggir jalan? ya, sejalan dengan perkembangan jalur transportasi darat, sebuah jalan aspal penghubung Lampung-Palembang membelah kampung ini..
Sebelum berkeliling kami berkumpul sejenak untuk sekedar menyaksikan kuliah kecil yang disajikan oleh arsitek besar.. Hmm, siapa yang tidak kenal dengan Yori Antar, salah satu petinggi di “Han Awal & Partners Architect". Ranah lingkup yang dibahas bang Yori adalah Fotografi Arsitektur, memang hobinya si abang dari Jakarta ini adalah menjepret-jepret elemen arsitektural dan Beliau tidak tanggung-tanggung berbagi tips & trik kpada mahasiswa2 ini. Cukup ilmu kami kantongi dan sebuah istilah “man behind the gun” yang diucapkan bang Yori terus menjadi senjata saya dalam berkarya.
Kami pun berkeliling kampung.. dan tetap tidak lupa si mesin jepret siap dalam genggaman. Bangunan rumah panggung yang berjejer di sepanjang jalan tak hentinya menyita perhatian, entah mengapa begitu awetnya eksistensi bentuk-bentuk banguan rumah adat ini ditengah perkembangan jenis material bangunan saat ini. Sekalipun selimut-selimut kecil pada beberapa bangunan memang sudah merupakan bahan genteng (yang semula merupakan ijuk) dan bahan beton, seperti tangga, ataupun pagar.. Tapi bentuk dominan bangunan ini tetap menonjol. Sekalipun ada bangunan yang berusia muda, bentuk bangunan tetap kembali pada bangunan lama. Identitas sosial warga sepertinya ditunjukan dengan permainan warna pada rumah mereka.
Setelah membelah kampung ini dengan jalan mungkin dianggap asing bagi warga kampung, sepertinya pemerintah belum puas sebelum memasangkan bongkahan-bongkahan beton pejal pada setiap halaman depan rumah-rumah yang lemah ini. Ke-ambiguan akan persepsi terhadap pagar beton yang dirasakan 2 pihak memang cukup krusial bagi gejolah psikologis.. Pihak pemerintah menjadikan pemasangan pagar pejal itu sebagai solusi keamanan dari kendaraan yang melintas, namun sepertinya warga merasa hubungan sosialnya agak ter-pagari..
Ditinjau dari estetika, kemunculan pagar tebal tersebut akan sedikit mengurangi keindahan sebuah rumah panggung dengan kaki-kaki mungilnya. Pertanyaan kembali muncul, mengapa semua rumah adat merupakan rumah panggung. Sebenarnya bukan sebuah mitos khusus yang coba mereka terapkan, namun karena dahulu keberadaan manusia dan hutan (dengan hewan2-nya) sepertinya agak berdampingan.. hal tersebutlah yang membuat mereka memutuskan untuk memisahkan hubungan dengan hewan (terutama yang membahayakan) ketika mereka ingin nyaman berada dirumah sendiri.. Untuk kampung wana ini, eksistensi bentuk panggung masih diterapkan, karena lingkungan kebun hampir hutan masih tetap menjadi lingkungan dominan di kampung ini. Hirearki ruang rumah panggung yang diterapkan dalam rumah ini cukup simple dan linear dari bagian depan hingga belakang rumah.
Dari hirearki tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa rumah dengan order linear yang memanjang ke belakang. Tapi dalam penerapannya ada 2 jenis ke-linearan yang di pakai, yaitu linear lurus dan linear L.
Berbicara tentang rumah panggung, sebuah transformasi yang dapat diamati pada kampung wana ini adalah ruang dibawah panggungnya. Fungsinya memang tidak berubah yaitu sebagai gudang penyimpan barang, baik itu bahan bakar maupun bahan makanan mentah atau hasil panen.. Hanya saja ketika zaman berubah toleransi akan setiap orang semakin memudar, kepentingan pribadi mulai menguat.. Pengambilan barang milik oranglain yang seenaknya mulai tumbuh dan berkembang pada benak orang2 yang tidak bertanggung jawab. Jadi sebuah rumah panggung yang awalnya ditopang kaki2 mungil yang kosong kini mulai berselimutkan dinding sebagai tempat penyimpanan yang aman.
Tak terasa hari langit semakin jingga.. Saatnya untuk beristirahat, panitia telah menyiapkan tempat2 khusus untuk untuk undangannya. Dimana lagi selain di rumah penduduk yang bersedia berbagi ruang sedikit dengan kami para pelancong.. Kebetulan kami mendapatkan sebuah tempat tinggal seorang nenek tua yang begitu ramah.. Rumah mungil nan cukup nyaman menjadi tempat memejamkan mata semalam.. Karena esok waktunya berpisah dengan rumah-rumah unik ini..
Pagi pun tiba, sarapan telah disantap.. saatnya berangkat.. Tak lupa terimakasih sebesar-besarnya kepada sang nenek atas kemurahan hatinya.. Kami beranjak sambil melambaikan tangan “Sampai Jumpa Nek..!!”
Ditinjau dari estetika, kemunculan pagar tebal tersebut akan sedikit mengurangi keindahan sebuah rumah panggung dengan kaki-kaki mungilnya. Pertanyaan kembali muncul, mengapa semua rumah adat merupakan rumah panggung. Sebenarnya bukan sebuah mitos khusus yang coba mereka terapkan, namun karena dahulu keberadaan manusia dan hutan (dengan hewan2-nya) sepertinya agak berdampingan.. hal tersebutlah yang membuat mereka memutuskan untuk memisahkan hubungan dengan hewan (terutama yang membahayakan) ketika mereka ingin nyaman berada dirumah sendiri.. Untuk kampung wana ini, eksistensi bentuk panggung masih diterapkan, karena lingkungan kebun hampir hutan masih tetap menjadi lingkungan dominan di kampung ini. Hirearki ruang rumah panggung yang diterapkan dalam rumah ini cukup simple dan linear dari bagian depan hingga belakang rumah.
Dari hirearki tersebut sudah dapat dibayangkan bahwa rumah dengan order linear yang memanjang ke belakang. Tapi dalam penerapannya ada 2 jenis ke-linearan yang di pakai, yaitu linear lurus dan linear L.
Berbicara tentang rumah panggung, sebuah transformasi yang dapat diamati pada kampung wana ini adalah ruang dibawah panggungnya. Fungsinya memang tidak berubah yaitu sebagai gudang penyimpan barang, baik itu bahan bakar maupun bahan makanan mentah atau hasil panen.. Hanya saja ketika zaman berubah toleransi akan setiap orang semakin memudar, kepentingan pribadi mulai menguat.. Pengambilan barang milik oranglain yang seenaknya mulai tumbuh dan berkembang pada benak orang2 yang tidak bertanggung jawab. Jadi sebuah rumah panggung yang awalnya ditopang kaki2 mungil yang kosong kini mulai berselimutkan dinding sebagai tempat penyimpanan yang aman.
Tak terasa hari langit semakin jingga.. Saatnya untuk beristirahat, panitia telah menyiapkan tempat2 khusus untuk untuk undangannya. Dimana lagi selain di rumah penduduk yang bersedia berbagi ruang sedikit dengan kami para pelancong.. Kebetulan kami mendapatkan sebuah tempat tinggal seorang nenek tua yang begitu ramah.. Rumah mungil nan cukup nyaman menjadi tempat memejamkan mata semalam.. Karena esok waktunya berpisah dengan rumah-rumah unik ini..
Pagi pun tiba, sarapan telah disantap.. saatnya berangkat.. Tak lupa terimakasih sebesar-besarnya kepada sang nenek atas kemurahan hatinya.. Kami beranjak sambil melambaikan tangan “Sampai Jumpa Nek..!!”
Ingin sekali kembali lagi ke sana dan menikmati serunya kualitas murni pedesaan.. seta pola tatanan hidupnya..
ReplyDelete